Sabtu, 13 September 2014



Tugas fiqih About Ijtihad

 A.     Pengertian Ijtihad

Dari segi bahasa,Ijtihad ialah mengerjakan sesuatu dengan segala kesungguhan. Perkataan ijtihad tidak digunakan kecuali untuk perbuatan yang harus dilakukan dengan susah payah.
Adapun ijtihad secara istilah cukup beragam dikemukakan oleh ulama usul fiqh. Namun secara umum adalah
عَمَلِيَّةُ اسْتِنْبَاطِ اْلأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ مِنْ اَدِلَّتِهَا التَّفْصِيْلِيَّةِ فيِ الشَّرِيْعَةِ
Artinya : “Aktivitas untuk memperoleh pengetahuan (istinbath) hukum syara’ dari dalil terperinci dalam syariat
Dengan kata lain, ijtihad adalah pengerahan segala kesanggupan seorang faqih (pakar fiqih Islam) untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum sesuatu melalui dalil syara’ (agama). Dalam istilah inilah ijtihad lebih banyak dikenal dan digunakan bahkan banyak para fuqaha yang menegaskan bahwa ijtihad dilakukan di bidang fiqih.
B.       Dasar Hukum Ijtihad
Yang menjadi landasan diperbolehkannya ijtihad banyak sekali, baik melalui pernyataan yang jelas maupun berdasarkan isyarat, diantaranya yaitu :

1.       Firman Allah SWT
إِنَّا أَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللّهُ    {النساء : 105}
Artinya : “Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu” (Q.S An Nisa : 105)

2.      Adanya keterangan sunnah, diantaranya hadits yang diriwayatkan oleh Umar :
اِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فاجَّتَهَدَ فَاَصَابَ فَلَهُ اَجْرَافِ وَاِذَا حَكَمَ فَاجَّتَهَدَ ثُمَّ أَخَّطَاءَ فَلَهُ أَجْرٌ
Artinya : “Jika seorang hakim menghukumi sesuatu, dan benar, maka ia mendapat dua, dan bila salah maka ia mendapat satu pahala

C.       Macam-macam Ijtihad
Menurut Muhammad Taqiyu al-Hakim membagi ijtihad menjadi dua bagian, yaitu :
1)      Ijtihad al-Aqli, yaitu ijtihad yang hujjahnya didasarkan pada akal tidak menggunakan dalil syara’
2)      Ijtihad syar’i, yaitu ijtihad yang didasarkan pada syara’\
           Ijtihad dari segi obyek kajiannya, menurut al Syatibhi, dibagi menjadi dua yaitu:
1. Ijtihad Istinbathi
Adalah ijtihad yang dilakukan dengan mendasarkan pada nash-nash syariat dalam meneliti dan menyimpulkan ide hukum yang terkandung di dalamnya. dan hasil dari ijtihad tersebut kemudian dijadikan sebuah tolak ukur untuk setiap permasalahan yang dihadapi.
2. Ijtihad Tathbiqi
Jika ijtihad istimbathi dilakukan dengan mendasarkan pada nash-nash syariat, maka ijtihad Tathbiqi dilakukan dengan permasalahan kemudian hukum produk dari ijtihad istinbathi akan diterapkan.


D.       Syarat-syarat Ijtihad

1.      Menguasai dan mengetahui arti ayat-ayat hukum yang terdapat dalam al-Qur’an baik menurut bahasa maupun syariah
2.      Menguasai dan mengetahui hadits tentang hukum, baik menurut bahasa maupun syariat
3.      Mengetahui naskah dan mansukh dari al-Qur’an
4.      Mengetahui permasalahan yang sudah ditetapkan melalui ijma’ ulama, sehingga ijtihadnya tidak bertentang dengan ijma’
5.      Mengetahui Qiyas dan berbagai persyaratannya serta istinbathnya
6.      Mengetahui bahasa Arab dan berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan bahasa, serta problematikanya
7.      Mengetahui ushul fiqh yang merupakan fondasi dari Ijtihad.
8.      Mengetahui maqoshidu asy-syariah (tujuan syariah) secara umum, atau rahasia disyariatkannya suatu hukum
E.       Objek Ijtihad

Menurut Imam Ghazali, objek ijtihad adalah setiap hukum syara’ yang tidak memiliki dalil yang qoth’i. Dengan demikian, syariat Islam dalam kaitannya dengan ijtihad terbagi dalam dua bagian.
1.      Syariat yang tidak boleh dijadikan lapangan ijtihad yaitu, hukum-hukum yang telah dimaklumi sebagai landasan pokok Islam, yang berdasarkan pada dalil-dalil qoth’i, seperti kewajiban melaksanakan rukun Islam, atau haramnya berzina, mencuri dan lain-lain.
2.      Syariat yang bisa dijadikan lapangan ijtihad yaitu hukum yang didasarkan pada dalil-dalil yang bersifat zhanni, serta hukum-hukum yang belum ada nash-nya dan ijma’ para ulama.

F.        Hukum Melakukan Ijtihad
1.      Fardhu ain : bila ada permasalahan yang meminta dirinya, dan harus mengamalkan hasil dari ijtihad-nya dan tidak boleh taqlid kepada orang lain.
Juga dihukumi fardhu ain jika ditanyakan tentang suatu permasalahan yang belum ada hukumnya.
2.      Fardhu kifayah : jika permasalahan yang diajukan kepadanya tidak dikhawatirkan akan habis waktunya, atau ada orang lain selain dirinya yang sama-sama memenuhi syarat sebagai seorang mujtahid
3.      Sunnah : apabila ber-ijtihad terhadap permasalahan yang baru, baik di tanya atau tidak
4.      Haram : apabila ber-ijtihad terhadap permasalahan yang sudah ditetapkan secara qoth’i, sehingga hasil ijtihadnya bertentangan dengan dalil syara’
G.       Tingkatan Mujtahid

1.      Mujtahid mustaqil : adalah seorang mujtahid yang bebas menggunakan kaidah-kaidah yang ia buat sendiri, dia menyusun fiqih-nya sendiri yang berbeda dengan madzhab.
2.      Mujtahid mutlaq ghairu mustaqil adalah orang yang memiliki kriteria seperti mujtahid mustaqil, namun dia tidak menciptakan sendiri kaidah-kaidahnya, tetapi mengikuti metode salah satu imam.
3.      Mujtahid muqoyyad / mujtahid takhrij adalah mujtahid yang terikat oleh madzhab imamnya
4.      Mujtahid tarjih adalah mujtahid yang belum sampai derajatnya pada mujtahid takhrij, tetapi mujtahid ini sangat faqih, hafal kaidah-kaidah imamnya, mengetahui dalil-dalilnya, cara memutuskan hukum dan lain-lain, namun kalau dibandingkan dengan mujtahid di atas ia tergolong masih kurang.
5.      Mujtahid fatwa : adalah orang yang hafal dan paham terhadap kaidah-kaidah imam madzhab, mampu menguasai persoalan yang sudah jelas maupun yang sulit, namun dia masih lemah dalam menetapkan suatu putusan berdasarkan dalil serta lemah dalam menetapkan qiyas.

H.       Ijtihad bagi Nabi-nabi

Pada ulama telah sepakat bolehnya ber-ijtihad bagi Nabi-nabi dalam hal-hal yang berhubungan dengan kepentingan dunia dan soal-soal peperangan. Menurut jumhur, Nabi-nabi boleh ber-ijtihad, kalau seseorang boleh ber-ijtihad sedang ia tidak terhindar dari kemungkinan luput, mengapa Nabi-nabi tidak boleh ber-ijtihad, padahal mereka terjamin dari keluputan.

I.          Ijtihad Bagi Sahabat-sahabat

Para ahli ushul berbeda pendapat tentang diperbolehkannya ijtihad bagi sahabat-sahabat di masa Rasul. Pendapat yang kuat membolehkan ijtihad bagi sahabat-sahabat; baik di kala berdekatan dengan Rasulullah ataupun ketika berjauhan.

K. Kedudukan ijtihad
Kedudukan dan fungsi ijtihad
              Ijtihad menempati kedudukan sebagai sumber hukum Islam setelah Al-Qur’an dan   Hadits. Dalilnya adalah
1.       QS An-Nahl 16:43 dan Al-Anbiya' 21:7
Artinya: :  maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan  jika kamu  tidak mengetahui
2.      Hadits muttafaq alaih (Bukhari Muslim) dan Ahmad
 Artinya:  Apabila seorang hakim membuat keputusan apabila dia berijtihad dan benar maka dia mendapat dua pahala apabila salah maka ia mendapat satu pahala.
3.       Hadits riwayat Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi  tentang dialog antara nabi Muhammad SAW dengan Muadz bin Jabbal ketika akan diutus jad gubernut di Yaman

v  Kedudukan ijtihad bersifat relatif.
v  Keputusan ijtihad berlaku bagi seseorang tetapi tidak berlaku pada orang lain, berlaku pada suatu masa/tempat tetapi tidak berlaku pada masa/tempat lain.
v  Ijtihad tidak berlaku dalam urusan penambahan ibadah mahdah. Sebab urusan ibadah mahdhah hanya diatur oleh Allah dan Rasulullah.
v  Keputusan ijtihad tidak boleh bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
v  Dalam proses berijtihad hendaknya dipertimbangkan factor motivasi, akibat, kemaslahatan umum, kemanfaatan bersama, dan nilai-nilai yang menjadi ciri dan jiwa dari pada ajaran Islam.

Adapun fungsi ijtihad ,diantaranya:
  Ø Fungsi Al-Ruju’ (kembali)
            mengembalikan ajaran-ajaran islam kepada al-Qur’an dan  Sunnah dari segala interpretasi yang kurang relevan.
  Ø Fungsi Al-ihya,(kehidupan)
            menghidupkan kembali bagian-bagian dari nilai dan islam semangat  agar  mampu menjawab tantangan zaman.
  Ø Fungsi al-Inabah,(pembenahan)
            memenuhi ajaran-ajaran islam yang telah di ijtihadi oleh ulama terdahulu dan dimungkinkan adanya kesalahan menurut konteks zaman dan kondisi yang di hadapi.

Adapun fungsi ijtihad,  Fungsi ijtihad ialah untuk menetapkan hukum sesuatu,yang tidak ditemukan dalil hukumnya secara pasti di dalam Al-Qur’an dan Hadis.
Adapun bentuk-bentuk ijtihad antara lain adalah
1. Ijma’
adalah kesepakatan mujtahid tentang hukum syara’ dari suatu peristiwa setelah Rosul wafat..Sebagai contoh adalah setelah rosul meninggal diperlukan pengangkatan pengganti beliau yang disebut dengan kholifah. maka kaum muslimin pada waktu itu sepakat mengangkat Abu Bakar sebagai kholifah pertama.
2. Qias
qias adalah menetapkan hukum suatu kejadian  atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkan dengan suatu kejadian yang telah ditetapakan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan illat/sifat diantara kejadian atau peristiwa itu. Contoh narkotika di Qiaskan dengan meminum khamar.
3.  Maslahah mursalah
adalah suatu kemaslahatan dimana syar;i tidak mensyariatkan sutau hukum ntuk merealisir kemaslahatan itu dan tidak ada dalil yang menunjukkan atas pengakuanya atau pembatalanya.Contoh kemaslahatn yang karenanya para sahabat mensyariatkan pengadaan penjara, pencetakan mata uang, penetapan tanah pertanian, memungut pajak.

4. Urf 
Menurut bahasa adalah kebiasaan sedangkan menurt istilah sesuatu yang telah dikenal orang banyak dan menjadi tradisi mereka dan tentunya tradisi disini adalah kebiasaan yang tidak dilarang. Contoh: saling pengertian manusia terhadap jual beli dengan cara saling memberikan tanpa adanya sighot lafdliyah.
                Hukum ijtihad adalah wajib bagi yang mampu dan memenuhi syarat untuk melakukannya. Para ulama sepakat bahwa ijtihad boleh dilakukan oleh ahlinya yang memenuhi persyaratan keilmuan seorang mujtahid. Beberapa persyaratan keilmuan seorang mujtahid yang tersebut dalam kitab-kitab ushul adalah sebagai berikut:
1. Islam, berakal sehat, dewasa (baligh).
2. Menguasai nash (teks) Al-Quran yang berkaitan dengan hukum yang sering disebut ayat ahkam. Jumlahnya sekitar 500 ayat.
3. Mengetahui hadits-hadits yang terkait dengan hukum
4. Mengetahui masalah hukum yang sudah menjadi ijmak (kesepakatan) ulama dan yang masih terjadi khilaf/ikhtilaf (perbedaan) di antara fuqoha (ulama fiqih). Tujuannya agar tidak mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan ijmak atau mengaku ijmak pada hukum yang bukan ijmak atau mengeluarkan pendapat baru yang belum terjadi.
5. Mengetahui qiyas karena qiyah adalah rujukan ijtihad dan awal dari pendapat.     dari qiyas muncul produk hukum. Orang yang tidak mengetahui qiyas tidak memungkinkan melakukan pengambilan hukum (instinbt al-hukmi).
6. Harus menguasai bahasa Arab dan konteks pembicaraannya sehingga dapat membedakan antara hukum-hukum yang pemahamannya harus merujuk pada bahasa, seperti kalam sharih (teks eksplisit) dan teks faktual (dzahirul kalam), ringkasan (mujmal) dan detail, umum dan khusus, pengertian hakikat dan majaz (kiasan).
7. Mengetahui nasikh dan mansukh baik yang terdapat dalam Quran maupun hadits sehingg tidak membuat produk hukum berdasar pada nash (teks) yang sudah dimansukh.
8. Mengetahui keadaan perawi hadits dalam segi kekuatan dan kelemahannya. Membedakan hadits sahih dari yang dhaif atau maudhu', yang maqbul (diterima) dari yang mardud (tertolak).
9. Memiliki kecerdasan dan kemampuan dalam bidang pengembilan hukum yang dihasilkan dari pembelajaran dan pendalaman dalam masalah dan studi hukum syariah.
10. Adil. Dalam arti bukan fasiq. Fasiq adalah orang yang pernah melakukan dosa besar atau terus-menerus melakukan dosa kecil.
              Bidang yang dapat diijtihadi adalah hukum syariah praktis yang tidak terdapat hukum yang pasti dalam Quran dan hadits. Sedangkan masalah yang pasti tidak berada dalam domain ijtihad seperti wajibnya shalat dan jumlah rakaatnya. Dan perkara yang diharamkan yang sudah tetap berdasarkan dalil yang pasti seperti haramnya riba dan membunuh tanpa hak.