Tugas fiqih About Ijtihad
A.
Pengertian
Ijtihad
Dari
segi bahasa,Ijtihad ialah mengerjakan sesuatu dengan segala kesungguhan.
Perkataan ijtihad tidak digunakan kecuali untuk perbuatan yang harus dilakukan
dengan susah payah.
Adapun
ijtihad secara istilah cukup beragam dikemukakan oleh ulama usul fiqh. Namun
secara umum adalah
عَمَلِيَّةُ
اسْتِنْبَاطِ اْلأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ مِنْ اَدِلَّتِهَا التَّفْصِيْلِيَّةِ
فيِ الشَّرِيْعَةِ
Artinya
: “Aktivitas untuk memperoleh pengetahuan (istinbath) hukum syara’ dari
dalil terperinci dalam syariat”
Dengan kata lain, ijtihad adalah
pengerahan segala kesanggupan seorang faqih (pakar fiqih Islam) untuk
memperoleh pengetahuan tentang hukum sesuatu melalui dalil syara’ (agama).
Dalam istilah inilah ijtihad lebih banyak dikenal dan digunakan bahkan banyak
para fuqaha yang menegaskan bahwa ijtihad dilakukan di bidang fiqih.
B.
Dasar
Hukum Ijtihad
Yang
menjadi landasan diperbolehkannya ijtihad banyak sekali, baik melalui
pernyataan yang jelas maupun berdasarkan isyarat, diantaranya yaitu :
1.
Firman
Allah SWT
إِنَّا
أَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا
أَرَاكَ اللّهُ {النساء : 105}
Artinya
: “Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa
kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah
wahyukan kepadamu” (Q.S An Nisa : 105)
2.
Adanya
keterangan sunnah, diantaranya hadits yang diriwayatkan oleh Umar :
اِذَا
حَكَمَ الْحَاكِمُ فاجَّتَهَدَ فَاَصَابَ فَلَهُ اَجْرَافِ وَاِذَا حَكَمَ فَاجَّتَهَدَ
ثُمَّ أَخَّطَاءَ فَلَهُ أَجْرٌ
Artinya
: “Jika seorang hakim menghukumi sesuatu, dan benar, maka ia mendapat dua,
dan bila salah maka ia mendapat satu pahala”
C.
Macam-macam
Ijtihad
Menurut
Muhammad Taqiyu al-Hakim membagi ijtihad menjadi dua bagian, yaitu :
1)
Ijtihad
al-Aqli, yaitu ijtihad yang hujjahnya didasarkan pada akal tidak menggunakan
dalil syara’
2)
Ijtihad
syar’i, yaitu ijtihad yang didasarkan pada syara’\
Ijtihad dari segi obyek kajiannya, menurut al Syatibhi, dibagi menjadi dua yaitu:
1. Ijtihad Istinbathi
Adalah ijtihad yang dilakukan dengan mendasarkan pada nash-nash syariat dalam meneliti dan menyimpulkan ide hukum yang terkandung di dalamnya. dan hasil dari ijtihad tersebut kemudian dijadikan sebuah tolak ukur untuk setiap permasalahan yang dihadapi.
2. Ijtihad Tathbiqi
Jika ijtihad istimbathi dilakukan dengan mendasarkan pada nash-nash syariat, maka ijtihad Tathbiqi dilakukan dengan permasalahan kemudian hukum produk dari ijtihad istinbathi akan diterapkan.
Ijtihad dari segi obyek kajiannya, menurut al Syatibhi, dibagi menjadi dua yaitu:
1. Ijtihad Istinbathi
Adalah ijtihad yang dilakukan dengan mendasarkan pada nash-nash syariat dalam meneliti dan menyimpulkan ide hukum yang terkandung di dalamnya. dan hasil dari ijtihad tersebut kemudian dijadikan sebuah tolak ukur untuk setiap permasalahan yang dihadapi.
2. Ijtihad Tathbiqi
Jika ijtihad istimbathi dilakukan dengan mendasarkan pada nash-nash syariat, maka ijtihad Tathbiqi dilakukan dengan permasalahan kemudian hukum produk dari ijtihad istinbathi akan diterapkan.
D.
Syarat-syarat
Ijtihad
1.
Menguasai
dan mengetahui arti ayat-ayat hukum yang terdapat dalam al-Qur’an baik menurut
bahasa maupun syariah
2.
Menguasai
dan mengetahui hadits tentang hukum, baik menurut bahasa maupun syariat
3.
Mengetahui
naskah dan mansukh dari al-Qur’an
4.
Mengetahui
permasalahan yang sudah ditetapkan melalui ijma’ ulama, sehingga ijtihadnya
tidak bertentang dengan ijma’
5.
Mengetahui
Qiyas dan berbagai persyaratannya serta istinbathnya
6.
Mengetahui
bahasa Arab dan berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan bahasa, serta
problematikanya
7.
Mengetahui
ushul fiqh yang merupakan fondasi dari Ijtihad.
8.
Mengetahui
maqoshidu asy-syariah (tujuan syariah) secara umum, atau rahasia disyariatkannya
suatu hukum
E.
Objek
Ijtihad
Menurut
Imam Ghazali, objek ijtihad adalah setiap hukum syara’ yang tidak memiliki
dalil yang qoth’i. Dengan demikian, syariat Islam dalam kaitannya dengan
ijtihad terbagi dalam dua bagian.
1.
Syariat
yang tidak boleh dijadikan lapangan ijtihad yaitu, hukum-hukum yang telah
dimaklumi sebagai landasan pokok Islam, yang berdasarkan pada dalil-dalil
qoth’i, seperti kewajiban melaksanakan rukun Islam, atau haramnya berzina,
mencuri dan lain-lain.
2.
Syariat
yang bisa dijadikan lapangan ijtihad yaitu hukum yang didasarkan pada
dalil-dalil yang bersifat zhanni, serta hukum-hukum yang belum ada nash-nya dan
ijma’ para ulama.
F.
Hukum
Melakukan Ijtihad
1.
Fardhu
ain : bila ada permasalahan yang meminta dirinya, dan harus mengamalkan hasil
dari ijtihad-nya dan tidak boleh taqlid kepada orang lain.
Juga
dihukumi fardhu ain jika ditanyakan tentang suatu permasalahan yang belum ada
hukumnya.
2.
Fardhu
kifayah : jika permasalahan yang diajukan kepadanya tidak dikhawatirkan akan
habis waktunya, atau ada orang lain selain dirinya yang sama-sama memenuhi
syarat sebagai seorang mujtahid
3.
Sunnah
: apabila ber-ijtihad terhadap permasalahan yang baru, baik di tanya atau tidak
4.
Haram
: apabila ber-ijtihad terhadap permasalahan yang sudah ditetapkan secara
qoth’i, sehingga hasil ijtihadnya bertentangan dengan dalil syara’
G.
Tingkatan
Mujtahid
1.
Mujtahid
mustaqil : adalah seorang mujtahid yang bebas menggunakan kaidah-kaidah yang ia
buat sendiri, dia menyusun fiqih-nya sendiri yang berbeda dengan madzhab.
2.
Mujtahid
mutlaq ghairu mustaqil adalah orang yang memiliki kriteria seperti mujtahid
mustaqil, namun dia tidak menciptakan sendiri kaidah-kaidahnya, tetapi
mengikuti metode salah satu imam.
3.
Mujtahid
muqoyyad / mujtahid takhrij adalah mujtahid yang terikat oleh madzhab imamnya
4.
Mujtahid
tarjih adalah mujtahid yang belum sampai derajatnya pada mujtahid takhrij,
tetapi mujtahid ini sangat faqih, hafal kaidah-kaidah imamnya, mengetahui
dalil-dalilnya, cara memutuskan hukum dan lain-lain, namun kalau dibandingkan
dengan mujtahid di atas ia tergolong masih kurang.
5.
Mujtahid
fatwa : adalah orang yang hafal dan paham terhadap kaidah-kaidah imam madzhab,
mampu menguasai persoalan yang sudah jelas maupun yang sulit, namun dia masih
lemah dalam menetapkan suatu putusan berdasarkan dalil serta lemah dalam
menetapkan qiyas.
H.
Ijtihad
bagi Nabi-nabi
Pada
ulama telah sepakat bolehnya ber-ijtihad bagi Nabi-nabi dalam hal-hal yang
berhubungan dengan kepentingan dunia dan soal-soal peperangan. Menurut jumhur,
Nabi-nabi boleh ber-ijtihad, kalau seseorang boleh ber-ijtihad sedang ia tidak
terhindar dari kemungkinan luput, mengapa Nabi-nabi tidak boleh ber-ijtihad,
padahal mereka terjamin dari keluputan.
I.
Ijtihad
Bagi Sahabat-sahabat
Para ahli
ushul berbeda pendapat tentang diperbolehkannya ijtihad bagi sahabat-sahabat di
masa Rasul. Pendapat yang kuat membolehkan ijtihad bagi sahabat-sahabat; baik di
kala berdekatan dengan Rasulullah ataupun ketika berjauhan.
K. Kedudukan
ijtihad
Kedudukan dan fungsi
ijtihad
Ijtihad menempati kedudukan sebagai sumber hukum Islam setelah Al-Qur’an
dan Hadits. Dalilnya adalah
1. QS
An-Nahl 16:43 dan Al-Anbiya' 21:7
Artinya: : maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai
pengetahuan jika kamu tidak mengetahui
2.
Hadits muttafaq alaih (Bukhari Muslim) dan Ahmad
Artinya: Apabila seorang hakim membuat keputusan
apabila dia berijtihad dan benar maka dia mendapat dua pahala apabila salah
maka ia mendapat satu pahala.
3. Hadits riwayat Ahmad, Abu Daud dan
Tirmidzi tentang dialog antara nabi
Muhammad SAW dengan Muadz bin Jabbal ketika akan diutus jad gubernut di Yaman
v Kedudukan
ijtihad bersifat relatif.
v Keputusan
ijtihad berlaku bagi seseorang tetapi tidak berlaku pada orang lain, berlaku
pada suatu masa/tempat tetapi tidak berlaku pada masa/tempat lain.
v Ijtihad
tidak berlaku dalam urusan penambahan ibadah mahdah. Sebab urusan ibadah
mahdhah hanya diatur oleh Allah dan Rasulullah.
v Keputusan
ijtihad tidak boleh bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
v Dalam
proses berijtihad hendaknya dipertimbangkan factor motivasi, akibat,
kemaslahatan umum, kemanfaatan bersama, dan nilai-nilai yang menjadi ciri dan
jiwa dari pada ajaran Islam.
Adapun fungsi ijtihad ,diantaranya:
Ø Fungsi Al-Ruju’
(kembali)
mengembalikan ajaran-ajaran islam kepada al-Qur’an dan Sunnah dari segala interpretasi yang kurang
relevan.
Ø Fungsi Al-ihya,(kehidupan)
menghidupkan kembali bagian-bagian dari nilai dan islam semangat agar
mampu menjawab tantangan zaman.
Ø Fungsi al-Inabah,(pembenahan)
memenuhi ajaran-ajaran islam yang telah di ijtihadi oleh ulama terdahulu
dan dimungkinkan adanya kesalahan menurut konteks zaman dan kondisi yang di
hadapi.
Adapun fungsi ijtihad,
Fungsi ijtihad ialah untuk menetapkan hukum sesuatu,yang tidak ditemukan
dalil hukumnya secara pasti di dalam Al-Qur’an dan Hadis.
Adapun bentuk-bentuk ijtihad antara lain adalah
1. Ijma’
adalah kesepakatan
mujtahid tentang hukum syara’ dari suatu peristiwa setelah Rosul wafat..Sebagai
contoh adalah setelah rosul meninggal diperlukan pengangkatan pengganti beliau
yang disebut dengan kholifah. maka kaum muslimin pada waktu itu sepakat
mengangkat Abu Bakar sebagai kholifah pertama.
2. Qias
qias adalah menetapkan
hukum suatu kejadian atau peristiwa yang
tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkan dengan suatu kejadian
yang telah ditetapakan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan
illat/sifat diantara kejadian atau peristiwa itu. Contoh narkotika di Qiaskan
dengan meminum khamar.
3. Maslahah
mursalah
adalah suatu kemaslahatan
dimana syar;i tidak mensyariatkan sutau hukum ntuk merealisir kemaslahatan
itu dan tidak ada dalil yang menunjukkan atas pengakuanya atau
pembatalanya.Contoh kemaslahatn yang karenanya para sahabat mensyariatkan
pengadaan penjara, pencetakan mata uang, penetapan tanah pertanian, memungut
pajak.
4. Urf
Menurut bahasa adalah
kebiasaan sedangkan menurt istilah sesuatu yang telah dikenal orang
banyak dan menjadi tradisi mereka dan tentunya tradisi disini adalah
kebiasaan yang tidak dilarang. Contoh: saling pengertian manusia terhadap jual
beli dengan cara saling memberikan tanpa adanya sighot lafdliyah.
Hukum ijtihad
adalah wajib bagi yang mampu dan memenuhi syarat untuk melakukannya. Para ulama
sepakat bahwa ijtihad boleh dilakukan oleh ahlinya yang memenuhi persyaratan
keilmuan seorang mujtahid. Beberapa persyaratan keilmuan seorang mujtahid yang
tersebut dalam kitab-kitab ushul adalah sebagai berikut:
1. Islam, berakal sehat, dewasa (baligh).
2. Menguasai nash (teks) Al-Quran yang berkaitan dengan
hukum yang sering disebut ayat ahkam. Jumlahnya sekitar 500 ayat.
3. Mengetahui hadits-hadits yang terkait dengan hukum
4. Mengetahui masalah hukum yang sudah menjadi ijmak
(kesepakatan) ulama dan yang masih terjadi khilaf/ikhtilaf (perbedaan) di
antara fuqoha (ulama fiqih). Tujuannya agar tidak mengeluarkan fatwa yang
bertentangan dengan ijmak atau mengaku ijmak pada hukum yang bukan ijmak atau
mengeluarkan pendapat baru yang belum terjadi.
5. Mengetahui qiyas karena qiyah adalah rujukan ijtihad
dan awal dari pendapat. dari qiyas
muncul produk hukum. Orang yang tidak mengetahui qiyas tidak memungkinkan
melakukan pengambilan hukum (instinbt al-hukmi).
6. Harus menguasai bahasa Arab dan konteks pembicaraannya
sehingga dapat membedakan antara hukum-hukum yang pemahamannya harus merujuk
pada bahasa, seperti kalam sharih (teks eksplisit) dan teks faktual (dzahirul
kalam), ringkasan (mujmal) dan detail, umum dan khusus, pengertian hakikat dan
majaz (kiasan).
7. Mengetahui nasikh dan mansukh baik yang terdapat dalam
Quran maupun hadits sehingg tidak membuat produk hukum berdasar pada nash
(teks) yang sudah dimansukh.
8. Mengetahui keadaan perawi hadits dalam segi kekuatan
dan kelemahannya. Membedakan hadits sahih dari yang dhaif atau maudhu', yang
maqbul (diterima) dari yang mardud (tertolak).
9. Memiliki kecerdasan dan kemampuan dalam bidang
pengembilan hukum yang dihasilkan dari pembelajaran dan pendalaman dalam
masalah dan studi hukum syariah.
10. Adil. Dalam arti bukan fasiq. Fasiq adalah orang yang
pernah melakukan dosa besar atau terus-menerus melakukan dosa kecil.
Bidang yang dapat diijtihadi adalah hukum
syariah praktis yang tidak terdapat hukum yang pasti dalam Quran dan hadits.
Sedangkan masalah yang pasti tidak berada dalam domain ijtihad seperti wajibnya
shalat dan jumlah rakaatnya. Dan perkara yang diharamkan yang sudah tetap
berdasarkan dalil yang pasti seperti haramnya riba dan membunuh tanpa
hak.